1.
Pendahuluan
Nusa
Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 2009 melaksanakan program Bumi Sejuta
Sapi (BSS) yang bertujuan meningkatkan populasi dan produktivitas sapi berbasis
prinsip percepatan, inovasi, dan nilai tambah (PIN) dengan target mencapai
populasi sekitar satu juta ekor pada tahun 2013. Target populasi tersebut
direncanakan dicapai secara bertahap, yaitu 602.333 ekor pada tahun 2009,
683.347 ekor pada tahun 2010, 780.724 ekor pada tahun 2011, 892.832 ekor pada tahun
2012, dan 1.032.507 ekor pada tahun
2013. Selama tiga tahun terakhir (2009-2011) capaian target populasi tersebut cukup
baik, yaitu pada tahun 2009 tercapai 98,43% ; tahun 2010 tercapai 101,84%; dan
tahun 2011 tercapai 99%. Melihat
perkembangan selama tiga tahun tersebut, diperkirakan target populasi pada
tahun 2013 akan dapat tercapai.
Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah,
dan Kerbau (PSPK) 2011, populasi sapi di
NTB tercatat 685.810 ekor, menempati urutan populasi sapi terbanyak keenam
setelah Jatim, Jateng, Sulsel, NTT, dan Lampung (BPS dan Ditjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan, 2011). Populasi tersebut terdistribusi menurut umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada
Tabel 1. Struktur umur dan jenis kelamin
ternak sapi sangat menentukan jumlah kelahiran pedet yang merupakan salah satu
faktor penting penentu pertumbuhan populasi. Semakin banyak jumlah induk akan
semakin banyak pula pedet yang dapat dilahirkan, yang berarti akan semakin
banyak pula produksi sapi potong. Produksi sapi potong yang dimaksud disini
adalah sapi jantan dewasa yang tidak digunakan sebagai pejantan.
Untuk meningkatkan nilai
tambah dari sapi yang dipotong adalah membangun industri pengolahan
daging dan hasil sampingannya (by-product)
yang diintegrasikan dengan rumah pemotongan hewan (RPH). Industri ini memiliki
efek ganda (multiplier effect) kepada
industri lain baik di sub sistem hulu (up-streams)
maupun di sub sistem budidaya (on-farm).
Dalam hal ini, tugas pemerintah adalah memfasilitasi terbangunnya sistem
agroindustri sapi potong, minimal terdiri dari sub sistem hulu (pabrik pakan
ternak), sub sistem budidaya (kelompok peternak sapi penggemukan dan
perbibitan), sub sistem hilir (RPH, Industri Pengolahan Daging dan Produk Sampingannya,
Industri Pupuk Organik), dan sub sistem institusi penunjang (Pos IB, Puskeswan,
Perbankan, Penyuluhan, Litbang, dsb.).
Atas
dasar pemikiran tersebut, Pemprov NTB menetapkan kebijakan menjadikan kawasan
UPT Banyumelek sebagai suatu kawasan bisnis
sapi potong berbasis RPH dan industri pengolahan daging/produk sampingannya
yang disebut dengan Meat Business Center (MBC)
Banyumulek.
2. Gambaran Kawasan MBC
Banyumulek
Kawasan MBC
Banyumulek terletak di wilayah desa Lelede (pemekaran dari desa Banyumulek),
Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat. Luas kawasan MBC tercatat 29 ha
berjarak sekitar 7 (tujuh) km dari kota Mataram, sekitar 9 (sembilan) km dari
Pelabuhan Lembar, dan sekitar 26 km dari Bandara Internasional Lombok (BIL).
Pada saat sekarang kawasan ini digunakan
untuk UPT Rumah Sakit Hewan dan Laboratorium Veteriner , UPT Inseminasi Buatan,
lahan penanaman hijauan makanan ternak (HMT), kandang ternak, rumah
pemotongan hewan (RPH), pabrik pupuk organik, dan bangunan pabrik pakan ternak. Bangunan UPT Rumah Sakit Hewan dan Laboratorium Veteriner serta UPT
Inseminasi Buatan menempati luas areal sekitar 2 (dua) ha, Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) sekitar 3,1 ha, pabrik pupuk organik dan pabrik pakan ternak
sekitar 1 (satu) ha, tanaman HMT sekitar 23 ha, dan perkandangan ternak sekitar 0,5 ha.